Powered By Blogger

Sabtu, 26 Desember 2009

EKSISTENSI TOKEK TERANCAM



Thok, othok-othok, tek….. kek! Itulah bunyi nyaring binatang yang sering bersembunyi di balik almari gudang rumah yang saya tinggali. Namun akhir-akhir ini suara khas itu hampir tak terdengar lagi. Kalaupun terdengar, suara itu tak selantang dahulu. Suara yang keluar serasa serak dan terkesan agak takut-takut. Mungkin takut keberadaanya diketahi sang pemburu yang setiap saat mengincar dan menangkapnya. Keberadaannya akhir-akhir ini memang sedang terusik. Eksistensinya terancam. Tulisan tentang tokek ini tidak berkaitan dengan cicak vs buaya seperti yang pernah gencar diberitakan oleh berbagai media massa beberapa waktu yang lalu. Tulisan ini lebih mengarah pada perburuan tokek (gecko) oleh segelintir orang untuk kepentingan komersial yang kelihatannya hanya bersifat tren sesaat.

Tokek merupakan hewan golongan reptilia bertulang belakang (vertebrata) yang berjalan secara melata atau merayap. Menurut bu Suyati, seorang guru Biologi bahwa tokek ini tidak ada nama ilmiahnya. Menurutnya, tokek termasuk dalam filum chordata, subfilum vertebrata, kelas reptilia, bangsa squamata, subordo lacertilia.

Bangsa kadal (lacertilia) ini bisa merayap pada media dinding yang berkemiringan 90°, bahkan pada langit-langit rumah hingga tubuhnya sanggup bertahan dari pengaruh gravitasi. Hal ini menurut pak Budi Antoro yang juga guru Biologi, lantaran pada telapak kakinya terdapat lapisan karet elastis yang berperekat. Kakinya berkembang baik sebagai alat jalan, karena otot lengan (lacertus) tumbuh dengan baik, dilengkapi lima jari kaki dengan kuku-kukunya yang meruncing. Tubuhnya bersisik halus pipih, berwarna abu-abu terang dihiasi bintik-bintik merah kecoklatan. Tokek termasuk berdarah dingin yang jantungnya memiliki empat ruang yang tidak sempurna. Ekornya memanjang. Menurut pengamatan saya, tokek termasuk hewan yang cenderung aktif pada malam hari (nocturnal). Makanan utamanya serangga. Cara perkembangbiakannya dengan bertelur, sama seperti saudara dekatnya, kadal dan cicak. Juga sama dengan saudara jauhnya, bangsa buaya (crocodilia). Tokek ini bisa hidup di alam bebas maupun hidup berdampingan/dekat dengan manusia. Tokek yang hidup di alam bebas, biasanya habitatnya bisa berupa daerah perkebunan atau bahkan di hutan. Mereka menempati lubang-lubang atau celah-celah pohon sebagai tempat berlindung. Menurut pengamatan saya, tokek termasuk hewan yang cenderung aktif pada malam hari (nocturnal). Hal ini didasarkan atas dua hal: 1. perilaku tokek tersebut dalam mencari mangsa dan berbunyi, 2. aktifitas manusia dalam berburu tokek itu sendiri. Ketika Matahari tenggelam di ufuk barat dan hari berganti malam, mulailah tokek-tokek bermunculan mencari mangsa. Di gelapnya malam itu pulalah tokek lebih sering memperdengarkan kebolehannya dalam bernyanyi dibanding pada siang hari. Lantaran itu pulalah para pemburu lebih cenderung berburu tokek di malam hari. Seorang tetangga saya, selain sebagai pengepul, dia juga berburu sendiri ketika malam hari. Biasanya dia berburu mulai sekitar pukul 19.00 sampai tengah malam.

Tokek merupakan salah satu kekayaan plasma nutfah Indonesia. Tokek sebagai plasma nutfat, artinya, menurut pak Budi Antoro: “merupakan galur murni atau turunan yang belum pernah diganggu/diolah-alih oleh manusia”.

Tokek yang terpampang pada gambar ini, mungkin tokek yang berhasil melolosan diri dari kerangkeng penampungan milik tetangga sebelah yang memang berprofesi dadakan sebagai penangkap sekaligus sebagai pengepul tokek tingkat desa. Hal ini terjadi karena tetangga saya yang sebelumnya berprofesi sebagai sopir mobil pick up pengangkut bahan bangunan itu sempat nyeletuk, “wah lepas”. “Apanya yang lepas mas?”, tanya saya. “Tokek”, jawabnya singkat. Hal ini dikuatkan oleh tetangga depan rumah yang juga berprofesi sambilan sebagai pemburu tokek. Sempat ada dua ekor tokek buntung yang masuk ke rumah yang saya tinggali, di samping tokek berekor utuh yang rajin berbunyi di balik almari itu. Kebuntungan ekor tokek itu sendiri mungkin terjadi ketika dalam proses penangkapan atau akibat bertarung dengan sesama tokek ketika terkumpul di sangkar penampungan.

Sebelum tokek-tokek tersebut dikirim atau diambil sendiri oleh tengkulak, tokek-tokek itu ditempatkan di sangkar penampungan yang berukuran 1m x 0,5m x 0,5m. Selama berada dalam sangkar penampungan, para pengepul memberi makan tokek-tokek tersebut dengan jangkrik yang dibeli di kios penjual makanan burung. Menurut penuturan, ada seorang pemburu yang memperoleh tokek sebanyak 100ekor, ukuran besar dan kecil yang dimasukkan dalam satu sangkar penampungan.

Seorang sumber yang juga tetangga saya mengatakan bahwa harga tokek itu mahal. Seekor tokek yang besar dihargai Rp 35juta. “Masak pak, tokek dihargai sebesar itu? Rp 35juta itu nolnya enam lho!”, sergah saya. Ternyata ucapan itu senada yang disampaikan oleh pak Prayogi yang juga pakar pendidikan Biologi. Bahkan beliau mengatakan bahwa tokek yang beratnya lebih dari 3ons bisa laku milyaran rupiah. “Yang mahal itu tokek rumahan. Sedang tokek yang ditangkap dari alam bebas harganya murah”, tambahnya dengan tidak memberikan rincian lebih lanjut. Realitanya seorang pemburu sambilan menjual hasil tangkapannya seukuran dua jari orang dewasa oleh pengepul dihargai Rp 2.000,- Sedang yang beratnya 2,3ons dibeli dengan harga Rp 3.000,- Menurut penuturan seorang pemburu sambilan tadi, dia bersama tiga orang temannya pernah dapat tokek seberat 2,5ons dan laku Rp 25.000,- Harga itu ternyata sangat bervariatif. Tokek yang beratnya kurang dari 3ons menurut pak Budi Antoro di Kepanjen dihargai antara Rp 6.000,- sampai Rp 10.000,- Sedang yang beratnya lebih dari 3ons bisa laku ratusan ribu rupiah. Tokek-tokek itu awalnya dijual hidup-hidup. Pembelinya orang Malang. Lalu berapa rupiah pengepul itu menjual tokek-tokeknya ke tengkulak? Rupanya pengepul dan keluarganya merahasiakannya. Tidak mau berterus-terang. Jelasnya pengepul ini akan menjualnya ke seorang tengkulak asal Pasuruan. Dari tengkulak ini kemudian disetor ke eksportir di Surabaya. Jadi jalur distribusi tokek ini adalah: pemburu tokek—pengepul—tengkulak—eksportir.

Diekspor kemana tokek-tokek tersebut? Seorang pemburu menuturkan bahwa tokek tersebut diekspor ke Amerika, tetapi kemudian diralat, ekspornya ke Cina. Pak Budi Antoro juga mengatakan bahwa tujuan ekspornya ke Cina. Menurut pak Yogi, tokek tersebut diekspor dalam wujud dikeringkan setelah melalui proses pemanggangan.

Pertanyaan berikutnya, untuk apakah tokek tersebut? Masyarakat lokal ada yang memanfaatkan untuk obat penyakit gatal-gatal, tutur bu Suyati. Informasi lain menyatakan bahwa tokek-tokek itu di Cina diolah menjadi ramuan obat. Cina memang dikenal sebagai penghasil ramuan obat dari berbagai macam binatang. Pak Budi Antoro menerangkan bahwa ada yang mengatakan tokek tersebut untuk obat penyakit HIV. Kemudian saya bertanya, “apa tokek itu mengandung racun?” “Ada, dalam jumlah kecil dan racunnya itu tidak berbisa.”, ucap pak Budi Antoro menerangkan.

Fenomena perburuan tokek ini jelasnya di satu sisi menambah lapangan kerja baru dan menambah penghasilan, di sisi lain jumlah populasi tokek ini terancam mengalami penurunan secara signifikan. Lantaran hal ini, mungkin kelak ada profesi baru lagi, yakni penangkaran tokek! Mudah-mudahan tokek-tokek tersebut digunakan untuk kepentingan positif, untuk ramuan obat penyakit tertentu, walau ada ahli yang mengatakan bahwa tokek, juga cula badak, dsb tidak bisa dijadikan obat; hanya sugesti dan hanya berupa mitos (Dari berbagai sumber).

1 komentar:

  1. buat pak yudi saya juga butuh tokek yang beratnya 2 ons..100 ekor..hub 08998227641

    BalasHapus