Powered By Blogger

Sabtu, 05 Juni 2010

HARI LINGKUNGAN HIDUP SE-DUNIA, 5 JUNI 2010

Membahas lingkungan hidup sebenarnya sangat rumit. Permasalahan yang ada saling kait mengkait. Kaitan yang ada melibatkan berbagai unsur lingkungan hidup itu sendiri, baik dari lingkungan biotik maupun dari lingkungan abiotik. Membahasa lingkungan hidup tidak lepas dari ekosistem secara keseluruhan. Namun demikian dalam tulisan ini, saya berusaha mengupas lingkungan hidup dalam rangka peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-dunia ini dari sudut manusia/penduduk sebagai khalifah di muka Bumi.

Pertumbuhan penduduk dunia meningkat pesat secara mendadak tercatat sejak awal abad ke-20. Meningkat pesatnya pertembuhan penduduk ini dikenal dengan istilah ledakan penduduk (population explosion). Ketika itu penduduk dunia diperkirakan sekitar 1,5 milyar jiwa. Seratus tahun kemudian, tepatnya tahun 2006, Retno Kinteki mencatat penduduk dunia meningkat menjadi 6.590.386.212jiwa.

Pertumbuhan penduduk dunia yang berlipat ganda itu memicu hebatnya eksploitasi terhadap alam. Hebanya eksploitasi terhadap alam dan lingkungan didesak oleh meningkatnya kebutuhan penduduk dunia. Karena itulah manusia kemudian berupaya untuk melipatgandakan produksi barang dan jasa. Manusia kemudian terpacu untuk berpikir, memutuskan, dan bertindak cepat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pelipatgandaan barang dan jasa memerlukan adanya industri.

Dalam upaya melipatgandakan produksi barang dan jasa, industri memerlukan sumber energi dari bahan bakar fosil, yaitu batubara dan minyak Bumi. Ternyata penggunaan bahan bakar fosil menghasilkan limbah gas di udara seperti gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan beberapa gas lainnya. Juga dalam penggunaan gas freon (kluorofluorakarbon/cfc). Gas karbon dioksida ini sebenarnya melalui proses alam dapat dinetralisir oleh tumbuh-tumbuhan melalui penyerapan gas tersebut dalam proses fotosintesis. Celakanya tumbuh-tumbuhan (baca: hutan) yang seharusnya menjadi penetralisir, justru semakin tahun luasnya semakin berkurang. Luas hutang yang semakin berkurang itu disamping karena dibabat untuk diambil kayunya, juga karena dibakar untuk perladangan penduduk dan perkebunan. Parahnya, pembakaran hutan itu sendiri, di samping menimbulkan berbagai dampak seperti terjangkitnya penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ispa), mengganggu jalur transportasi, dsb; juga menyumbangkan bertambanya konsentrasi gas karbon dioksida di atmosfer. Kadar gas buang itu semakin meningkat lagi dengan penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil, limbah pertanian, limbah peternakan, dan dari pembakaran limbah rumah tangga (domestik), walau yang terakhir ini sumbangannya relatif kecil.

Gas karbondioksida, metana, dan dinitrogen oksida yang jumlahnya meningkat di atmosfer bersifat menahan radiasi Matahari yang terserap di permukaan Bumi. Tertahannya panas dari pancaran sinar Matahari inilah yang menghantarkan efek rumah kaca hingga menimbulkan peningkatan suhu permukaan Bumi (global warming).

Sebenarnya efek rumah kaca yang menimbukan pemanasan global itu bukan hanya disebabkan oleh gas-gas tersebut. Melalui proses alam, sesungguhnya konsentrasi debu dan uap air di atmosfer juga memiliki sifat rumah kaca. Hanya saja dampaknya tak sehebat gas-gas limbah tersebut di atas.

Penggunaan gas freon juga memiliki kontribusi dalam peningkatan suhu global. Hal ini disebabkan penggunaan gas tersebut secara besar-besaran ternyata menimbulkan penipisan lapisan ozon. Penipisan lapisan ozon mengakibatkan meningkatnya sinar ultraviolet yang memasuki permukaan Bumi. Intensitas sinar ultraviolet yang tinggi melantarkan terjadinya suhu udara yang panas, penyakit kanker kulit, matinya larva-larva ikan dan udang, dan berbagai kasus lain.

Meningkatnya temperatur udara di permukaan Bumi pada gilirannya menimbulkan perubahan iklim global. Waktu yang seharusnya sudah musim kemarai tetapi intensitas hujan masih tinggi. Sebaliknya waktu yang seharusnya musim penghujan, namun hujan yang ditunggu-tunggi tidak kunjung turun. Pergantian musim yang tidak menentu melantarkan berbagai kekacauan. Pola tanam, terutama pada pertanian yang berbasis air hujan akan terganggu. Bahkan ancaman gagal panen bisa terjadi. Gagal panen mengakibatkan krisis pangan. Krisis pangan melantarkan musibah kelaparan.

Pergantian musim yang tidak menentu juga memicu serangan hama dan penyakit yang bisa tak terkontrol. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan insektisida (DDT) juga menimbulkan masalah lingkungan tersendiri. Rantai makanan terganggu. Ujung-ujungnya manusia juga yang terkena dampaknya.

Kekacauan iklim ini juga menimbulkan masalah lainnya, seperti banjir dan tanah longsor ketika musim penghujan, dan kekeringan ketika musim kemarau. Suhu global yang tinggi juga mencairkan es di kutub. Mencairnya es di kutub menimbulkan bertambah tingginya permukaan air laut. Menurut pendapat ahli, naiknya permukaan air laut setinggi sekitar 64cm akan terjadi pada tahun 2020 nanti. Dataran-dataran rendah dekat pantai akan terendam air laut. Menurut informasi tentang hal demikian itu, beberapa kota dekat pantai sebagian wilayahnya akan menjadi laut. Misalnya sebagian dari wilayah Jakarta Utara nantinya akan menjadi laut. Pulau-pulau tertentu akan tenggelam. Habitat terumbu karang akan rusak. Demikian pula daerah-daerah rawa pantai. Kerusakan ini juga akan mengakibatkan rusaknya ekosistem yang ada. Berbagai jenis flora dan fauna kemungkian akan punah.

Terendamnya sebagian wilayah kota-kota dekat pantai akan merusak pula tatanan kehidupan yang ada di tempat itu. Permukiman penduduk rusak, pelabuhan tidak berfungsi lagi, prasarana jalan dan transportasi darat musnah, dsb. Rusaknya hal-hal tersebut akan mendorong manusia untuk mengeksploitasi lahan di daerah lain. Baku mutu lingkungan pun akan terjadi pula.

Gangguan iklim global juga bisa melantarkan kacaunya pola pergerakan angin dan arus laut. Kekacauan ini juga berdampak pada transportasi antarpulau atau antarbenua. Di samping itu hasil tangkapan nelayan juga akan terpengaruh.

Perilaku manusia dalam usaha pertanian dalam arti luas dan dalam usaha pertambangan juga tak kalah beresikonya dibanding industri. Baku mutu lingkungan sering pula terjadi pada sektor-sektor tersebut. Perilaku dalam kehidupan sehari-hari di sekitar tempat tinggal pun juga harus kita sikapi dengan arif agar kelestarian lingkungan hidup dapat terwujud demi masa depan anak-cucu kita.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar