Powered By Blogger

Jumat, 29 April 2011

AWAN SIROKUMULUS DAN GANGGUAN IKLIM

Gambar di samping merupakan rekaman fenomena cuaca yang berupa fenomena kenampakan awan sirokumulus (cirrocumulus) di Malang Selatan pada akhir Maret 2011. Menurut klasifikasi awan berdasarkan ketinggiannya, awan sirokumulus termasuk jenis awan tinggi, yakni awan yang terletak di ketinggian antara 6.000m--12.000m. Menurut morfologinya, awan ini termasuk gabungan dari awan sirus (awan halus berserat seperti bulu burung) dan awan kumulus (awan yang bergumpal-gumpal). Sedangkan berdasarkan materinya, tergolong awan yang tersusun dari materi kristal es karena di atas ketinggian 4.500m temperatur udara turun di bawah titik beku (ketinggian 4.500m suhu 0 derajat Celsius), sehingga air yang ada dalam awan menjadi beku. Bersama awan sirostratus dan awan sirus, awan sirokumulus sering diindikasikan dengan cuaca cerah. Lantaran keadaan itu, Bulan perbani nampak bersinar cerah (lihat gambar, walau hanya berukuran kecil).

Keadaan cerah tersebut berlangsung sekitar dua hari. Hal demikian sempat membuat gundah seorang petani yang kala itu sedang menanam jagung. Dia sempat bertanya, apakah keadaan seperti ini terus berlangsung? Artinya sudah memasuki musim kemarau. Terlebih ketika itu juga didengar pula kemunculan suara serangga yang nama lokalnya 'gareng atau garengpung'. Perlu diketahui, orang Jawa memiliki patokan tertentu untuk memprediksi datangnya suatu musim. Misalnya untuk musim kemarau, tanda-tanda yang sering dipakai oleh orang Jawa adalah munculnya fenomena awan tinggi, munculnya suara serangga yang disebut di atas, dan munculnya bunga pada beberapa jenis tumbuhan tertentu, yakni munculnya bungai turi, randhu, dan dhadhap.

Fenomena tersebut sekilas nampaknya seperti yang disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat dalam sebuah acara televisi. Dalam acara tersebut beliau mengatakan bahwa sebagian wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau pada bulan Maret dan sebagian yang lain pada bulan April. Hal ini juga beralasan karena pada tanggal 21 Maret, gerakan semu tahunan Matahari berada tepat di atas khatulistiwa yang selanjutnya bergerak ke utara menuju 23,5 derajat Lintang Utara. Namun realitanya tidak demikian. Sampai akhir April ini hujan deras terus berlangsung di Indonesia. Bahkan di beberapa daerah hingga terjadi banjir dan dan tanah longsor. Ketidaklaziman ini apakah masih terkait dengan gangguan iklim yang terkait dengan gejala La Nina di Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar