Powered By Blogger

Rabu, 10 Februari 2010

LABORATORIUM KEHUTANAN SMAPa




Bermula dari sebuah keprihatinan tentang kurang berfungsinya lahan di belakang sekolah, kemudian saya melakukan upaya untuk memanfaatkan lahan tersebut. Apalagi saya seorang yang memiliki ilmu Geografi. Kepekaan terhadap keadaan lingkungan seperti itu harus ditindaklanjuti. Saya harus berbuat sesuatu. Upaya itu kemudian diperkuat oleh masukan dari pak Yanto, mantan pengurus Komite Sekolah. "Masak punya lahan tidur kok dibiarkan begitu saja?", tanya pak Yanto yang masih terngiang di telinga saya sampai saat ini. Melalui hal itu kemudian saya minta izin kepada Kepala Sekolah yang saat itu dijabat oleh bapak Drs. Fatheh, M.Pd. Tanpa banyak komentar maupun tanya ini dan itu, beliau memberikan sinyal positif. Beliau hanya mengatakan, "kalau hal itu memiliki kemaslahatan, silahkan diwujudkan. Gayung bersambut. Upaya untuk memanfaatkan lahan tidur di sekolah semakin mantap. Apalagi bagian timur sekolah berbatasan dengan sebuah sungai, sungai Kedungmerak namanya.

Awalnya lahan tidur tersebut merupakan lahan garapan bagi karyawan Tata Usaha dan pesuruh sekolah yang masih berstatus Pegawai Tidak Tetap (PTT) dengan maksud untuk dapat memperoleh penghasilan tambahan. Maklum honorarium mereka relatif kecil. Adapun jenis tanaman yang diusahakan adalah jagung dan ketela pohon. Tetapi entah karena alasan apa, lahan tersebut kemudian ditelantarkan begitu saja dalam waktu beberapa tahun. Bahkan tanaman ketela pohon sudah ditanam pada periode yang terakhir tidak kunjung dipanen sampai tumbuh dan tumbuh lagi di tahun-tahun berikutnya.

Bapak Sri Setyo, anggota Komite Sekolah adalah orang pertama yang menaruh perhatian terhadap lahan belakang sekolah. Pada Tahun 1998 beliau menawarkan bibit sengon putih, sengon merah, dan petai ke bapak Drs. Dwi Tjahjono Widajat yang menjabat Kepala SMAPa waktu itu untuk penghijauan di lahan tidur belakang sekolah. Tawaran baik itu diterima dan kemudian Kepala Sekolah menugaskan saya dan dua orang pesuruh sekolah untuk mengambil bibit itu ke kebun pembibitan di Banyuurip Desa Pagak. Entah mengapa setelah ditanam, lebih dari separonya mati. Sedang yang hidup pertumbuhannya kurang baik. Lantaran itu semua akhirnya tekat menjadi bulat untuk menghijaukan lahan yang luasnya lebih kurang 1/6 dari seluruh lahan sekolah seluas 2,016ha. Langkah itu dimulai pada akhir tahun 2002, sekitar bulan Nopember.

Jati adalah tanaman yang saya putuskan untuk dijadikan tanaman penghijauan di lahan tersebut. Mengapa harus jati. Alasannya sebagai berikut: (1) Jati adalah tanaman komersial yang berkualitas tinggi dan asli Indonesia. (2) Jati bisa tumbuh dengan baik di lahan yang berbatuan induk kapur seperti yang di SMAPa ini. (3) Jati banyak hidup di daerah Malang Selatan khususnya. (4) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi sekolah dan warganya bila sudah tiba saatnya dipanen.

Langkah berikutnya menginformasikan kepada siswa untuk membuat pembibitan jati di rumah masing-masing dengan pemberian teori secukupnya kepada mereka. Bagi mereka yang tidak berhasil membuat pembibitan, siswa dianjurkan mengumpulkan bibit jati yang tumbuh liar di lingkungan mereka. Hasilnya, terkumpul lebih dari seribu bibit jati berukuran 5--10cm. Tepat pada Pekan Penghijauan Nasional (PPN) tanggal 22 Desember 2002 penanaman jati tahap pertama dilakukan. Ketika itu siswa yang terlibat siswa kelas I.5 dan kemudian kelas I.4 (waktu itu belum disebut kelas X). Berikutnya pada saat liburan akhir semester satu Tahun Pelajaran 2002/2003, dua per tiga dari lahan jati itu kemudian saya tanami sendiri dibantu oleh anak saya yang ketika masih SMP.

Setelah bibit jati terlihat tumbuh, siswa dari setiap kelas yang ada pelajaran Geografi yang saya ajar digilir untuk merawat jati dengan menyiangi rumput dan memberi pupuk, baik pupuk organis maupun pupuk buatan pada musim hujan dan menyiraminya ketika musim kemarau. Kegiatan ini kadang-kadang juga terpaksa menggunakan jam pelajaran, di samping juga tidak jarang melakukan kegiatan tersebut pada hari Ahad, di samping kegiatan sehabis jam pelajaran pada setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Alasannya sederhana saja. Sebenarnya Geografi itu tidak hanya belajar teori di kelas saja (indoor study), tetapi juga melakukan kegiatan yang nyata melalui praktik di lapangan (outdoor study). Bahkan menurut seorang dosen saya, beliau mengatakan bahwa laboratorium Geografi itu bukan hanya pada suatu ruangan tertentu, tetapi sebenarnya seluruh muka Bumi ini adalah laboratorium Geografi. Itulah hakekat pelajaran Geografi. Hanya dalam kurikulum di Indonesia tidak mau menyampaikan hal itu. Mungkin si pembuat kurikulum bukan orang Geografi atau bahkan mungkin orang Geografi yang tidak tahu ruhnya Geografi. Geografi jadi mandul dan teoritis. Hanya pelajaran yang sekedar menghapal seperti gambaran orang pada umumnya. Itulah juga yang saya alami ketika awal penanaman jati. Beberapa teman guru di ruang guru mempergunjingkan hal itu. "Siswa kok diajak menanam jati. Mau jadi apa?", itulah kira-kira ucapan miring mereka. Saya tidak ambil pusing dengan celotehan itu. Ibaratnya mata micek, kuping mbudheg (artinya seolah-olah mata membuta, dan telinga dibuat seperti orang tuli). Bahasa gaulnya cuek saja. Hal seperti itu tidak membuat langkah terhenti. Walaupun aksi lokal, tetapi berpikir global. Saya harus berbuat sesuatu untuk membekali anak didik saya. Kemudian atas sumbangan seorang siswa, di tempat lahan jati itu saya tancapkan papan bertuliskan "LABORATORIUM KEHUTANAN SMA NEGERI 1 PAGAK. MOTTO: AKSI LOKA BERPIKIR GLOBAL" di dua tempat, yakni di bagian belakang sisi selatan dan utara. Di laboratorium ini siswa diajak belajar mencintai lingkungan, memiliki apreasiasi terhadap flora dan alam sekitar, mengerti fungsi hutan, menciptakan kebersamaan di antara mereka dan juga dengan guru, di samping bisa memperoleh hikmah dari bersusah-payah, berpanas-panasan, gatal, digigit nyamuk, dsb. Selain itu mereka juga tahu dan bisa merawat dan memperlakukan flora, khusunya jati. Semua itu juga tidak mengada-ada. Dalam kurikulum, baik dalam kurikulum sebelumnya maupun dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dianut saat ini, hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan terkait dalam silabus matapelajaran Geografi baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, hutan dan kehutanan terkait dengan Standar Kompetensi: 1. Memahami konsep, pendekatan, dan aspek Geografi. Standar kompetensi: 3. Menganalisis unsur-unsur geosfer pada Kompetensi Dasar: 3.1 Menganalisis dinamika kecenderungan perubahan lithosfer dan pedosfer serta dampaknya terhadap kehidupan di muka Bumi, khususnya pada Materi Pembelajaran: Tenaga eksogen, Pedosfer (proses pembentukan tanah dan mengurangi erosi tanah). Pada Kompetensi Dasar: 3.2 Menganalisis atmosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka Bumi, khususnya pada materi kelembaban udara dan pemanasan global. Kompetensi Dasar: 3.3 Menganalisis hidrosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka Bumi, khususnya pada materi siklus hidrologi--peranan penguapan dari tumbuh-tumbuhan dan upaya pelestarian Daerah Aliran Sungai (DAS), dsb. yang diajarkan di kelas X. Sedangkan yang secara langsung membahas hutan dan kehutanan adalah pada standar kompetensi untuk siswa kelas XI, yakni pada Standar Kompetensi: 1. Menganalisis fenomena biosfer dan antroposfer, Kompetensi Dasar: 1.2 Menganalisis sebaran hewan dan tumbuhan. Standar Kompetensi: 2. Memahami sumberdaya alam. Standar Kompetensi: 3. Menganalisis pemanfaatan dan pelestarian lingkungan hidup dengan alokasi waktu sebanyak 54jam yang secara teoritis diberikan sepenuhnya pada semester 2.

Papan bertuliskan "LABORATORIUM KEHUTANAN" itu hanya bertahan beberapa bulan saja. Papan tulisan yang ada di sebelah utara dirusak bersama beberapa tanaman jati setinggi lebih dari 5m ketika pembangunan ruang kelas yang kini untuk kelas X.1, sedang yang di bagian selatan rusak tanpa diketahui pasti penyebabnya. Saya tidak putus asa. Seorang siswa lain yang juga putra seorang pengusaha kayu menyumbangkan papan bertuliskan sama dengan sebelumnya, kemudian dipasang lagi di sisi selatan atau sebelah timur lapangan sepak bola, kira-kira 15m arah selatan dari papan sebelumnya. Ternyata papan ini lebih menyedihkan. Hanya dalam hitungan minggu sudah hilang tak berbekas. Lebih tragis lagi, beberapa saat kemudian tanaman jati yang sudah berumur lebih dari enam tahun pada lahan sepanjang lebih kurang 50m dan lebar sekitar 5m ditebang dengan alasan untuk jalur truk yang mengangkut material untuk pembangunan laboratorium Biologi. Padahal pembangunan laboratorium itu sendiri telah memusnahkan begitu saja beberapa pohon jati setinggi sekitar 10m. Lebih menyedihkan lagi yang ikut merekomendasikan itu semua juga mengerti tentang dampak kerusakan tumbuhan terhadap kehidupan dan sumberdaya alam hayati, dsb, di samping kemanfaatan flora itu terhadap pembelajaran Geografi khususnya. 'Konflik penggunaan lahan' kecil-kecilan telah terjadi di dunia pendidikan, khususnya di sekolah tercinta. Alasannya 'hanya' beberapa pohon jati saja. Akhirnya saya hanya bisa menahan geram yang tak tahu kemana harus mengadu. Padahal ini bukan ambisi pribadi. Apalagi untuk memperkaya diri, tidak ada pikiran itu walau kebutuhan dasar sebagai manusia, yaitu rumah belum saya miliki.

Kini hutan jati itu mayoritas berumur lebih dari tujuh tahun, bahkan ada sebagian yang sudah berbunga. Sebagian kecil lainnya memang ada yang masih berumur satu dan dua tahun. Tanaman jati yan lebih muda itu memang tanaman susulan setelah tanaman sengon putih yang tersisa dari penghijauan tahap pertama ditebang. Jumlah keseluruhan yang masih ada memang belum sempat dihitung. Penjarangan pun baru tertangani kurang dari sepertiganya. Mudah-mudahan sesudah ujian nasional perawatan laboratorium kehutanan itu bisa diintensifkan lagi. Penanaman jati juga terus dilaksanakan. Kalau lahan sekolah telah terpenuhi, maka lahan kritis/tandus di luar sekolah itulah obsesinya. Terlebih kalau mengingat penghargaan almarhum Drs. Budi Karyanta, rekan sejawat yang juga guru Geografi dan sebagai Koordinator Pelaksana (Korlak) Kesiswaan memasukkan 'Kehutanan' sebagai salah satu ekstrakurikuler di sekolah tersayang. Demikian pula ketika Bapak Drs. Pudianto, M.Pd. ketika menjabat Kepala SMAPa telah menganugerahkan piagam penghargaan perintis lingkungan di sekolah yang sangat saya banggakan ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar