Powered By Blogger

Rabu, 14 April 2010

PETERNAK GUREM

Peternak gurem yang dimaksud dalam judul di atas bukan berarti orang yang beternak gurem, yakni sejenis kutu kecil berwarna merah yang menyerang ayam ketika mengerami telurnya di sarang yang kurang bersih. Peternak gurem yang dimaksud adalah peternak bermodal kecil dengan jumlah ternak dan dengan pengetahuan beternak yang terbatas.

Itulah fenomena yang umum nampak di daerah perdesaan. Di daerah perdesaan Jawa, beternak kambing, domba, biri-biri, kerbau, sapi, dan/atau kuda merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Mereka menyebut hewan-hewan ternak tersebut dengan rajakaya (ditulis menurut aturan penulisan Jawa). Mungkin maknanya bila beternak hewan-hewan tersebut, pemiliknya akan menjadi kaya bak seorang raja. Kenyataan yang ada sekarang ini umumnya
tidaklah demikian. Mereka hanya memelihara hewan ternak seperti yang tertera pada gambar ini. Bahkan di antaranya ada yang hanya sebagai pemeliharan saja dengan sistem gadhuh. Gadhuh/nggadhuh adalah istilah bahasa Jawa yang maksudnya adalah sistem beternak dalam budaya Jawa dimana binatang ternak yang dipelihara itu milik orang lain dan upah yang diterima berdasarkan bagi hasil.

Para peternak gurem umumya beternak sekedar saja sesuai kebiasaan yang telah diperolehnya. Hewan ternaknya hanya ditempatkan di kandang apa adanya yang biasanya diletakkan di dekat rumah tinggal peternak. Sanitasi kurang diperhatikan. Kotoran dibiarkan menggunung di kandang itu sehingga menimbulkan bau tak sedap dan menggangu kesehatan peternak maupun hewan ternaknya sendiri. Bahkan menurut penuturan teman, ada hewan ternak yang dikandangkan di ruang tamu. Menurut Forum Peternak Sapi Indonesia (FPSI) yang dipublikasikan lewat Facebook Catatan Forum Peternak Sapi Indonesia (FPSI)--Biogas Limbah Peternakan Sapi bahwa limbah peternakan sapi yang berupa kotoran, air kencing sapi, jerami, dsb. mengandung komponen biogas. Komponen-komponen biogas itu meliputi (1) gas methan (CH4) sebesar 50%--70%. (2) Karbondioksida (CO2) sebesar 30%--40%. (3) Air (H2O) sebesar 0,3%. (4) Hidrogen Sulfida (H2S) sedikit sekali. (5) Nitrogen (N2) sebesar 1%--2%. (6) Hidrogen sebesar 5%--10%. Kotoran, air seni, dan biogas dibiarkan begitu saja hingga menimbulkan polusi. Polusi udara, polusi air, dan juga polusi tanah. Informasi dari suatu situs web di Amerika Serikat menjelaskan bahwa peternakan di sana menyumbangkan polusi yang signifikan. Padahal para di peternak di sana sudah mengembangkan usaha peternakan dengan majunya plus pengelolaan limbah peternakan dengan baik. Bagaimana dengan peternak gurem kita? Mereka belum memikirkannya. Produk ikutan itu jelas akan memiliki nilai tambah bagi peternak gurem itu sendiri jika mau mengelolanya. Mengapa mereka tidak mengelolanya? Kendala utamanya adalah faktor terbatasnya ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping juga masalah dana. Kalau meniru dialek Betawi, boro-boro memikirkan limbah, untuk menunjang hidup sehari-hari saja bisa pusing tujuh keliling.

Pakan yang diberikan juga masih mengandalkan pakan alami yang mereka peroleh di sekitar mereka. Artinya mereka masih cenderung mengandalkan rumput yang tersedia di lingkungan sekitar. Mereka belum memikirkan pembudidayaan rumput sendiri secara sungguh-sungguh dan juga belum berpikir untuk mengembangkan penganekaragaman pakan ternak yang sebenarnya cukup tersedia di lingkungan sekitar. Jika musim penghujan, ternak mereka akan selalu maka rumput. Giliran musim kemarau tiba, jerami kering yang mungkin kurang bergizi bagi ternak menjadi menu sehari-hari. Bahkan kalau jerami tidak ada, bonggol pisang pun menjadi santapan hewan ternaknya. Tidak mengherankan jika ternak mereka terlihat kurus dan pertumbuhannya tidak begitu baik.

Satu-satunya saluran keluh-kesah mereka hanya pada sesama peternak gurem. Itupun dilakukan ketika mereka sama-sama mencari rumput. Mereka tidak mengenal organisasi peternak semisal forum peternak sapi. Mereka tidak kenal apa itu koperasi, apalagi bank. Mereka juga tidak mengenal dinas peternakan. Mereka sangat bersahaja. Kadang-kadang nama jenis hewan yang diternakkannya saja tidak tahu. Mereka menyebut sapi yang berbulu coklat kemerahan saja dengan sapi brahman. Bahkan ada yang menyebut brama. Sebenarnya yang mereka maksud adalah sapi limousin atau sapi si mental, atau bahkan mungkin beberapa jenis sapi yang akhir-akhir ini banyak didatangkan dari Australia. Padahal sapi-sapi putih seperti yang nampak pada gambar itulah sapi brahman (Bos indicus).

Siapa mau mengulurkan tangan bagi mereka? Jika mereka diberdayakan, insya Allah upaya pengembangan sumberdaya alam hayati dari usaha peternakan ini akan meningkat. Meningkatnya usaha peternakan berarti dapat untuk mengurangi ketergantungan Indonesia dari pasokan daging impor yang jumlahnya mencapai lebih dari 50%. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar