Powered By Blogger

Selasa, 23 Agustus 2011

DISKONTINUITAS MOHOROVISIK

Tulisan ini saya posting-kan berkaitan dengan pertanyaan seorang siswa pada pelajaran Kebumian kemarin (Senin, 22 Agustus 2011). Pertanyaan itu sebenarnya sudah saya jawab seketika itu, namun demikian rasanya kurang puas rasanya bila tidak diberikan jawaban tambahan hingga penanya dan juga siswa-siswa yang lain benar-benar puas. Jawaban tambahan yang ada dalam posting ini hanya bersifat mengutip beberapa pendapat.

Menurut M.A. Marbun (1982:100), "Diskontinuitas Mohorovisik adalah lapisan batas pemisah yang memisahkan Crust (kulit Bumi) dengan mantel (mesosphere)". Selanjutnya M.A. Marbun mengemukakan bahwa Diskontinuitas Mohorovisik disebut juga Moho atau M-Discontinuity. Kecepatan gelombang gempa bertambah setelah melewati moho. Perubahan tersebut sehubungan dengan perubahan komposisi lapisan. Letaknya pada kedalaman 35km. Pendapat ini dicetuskan oleh A. Andrija Mohorovivic (1857--1936), seorang ahli seismologi. Pendapat tersebut dikemukakan pada tahun 1909.

Sedang menurut Doddy Setia Graha (1987:2) menjelaskan bahwa Diskontinuitas Mohorovisik merupakan peningkatan kecepatan merambat gelombang getaran yang mendadak sifatnya pada kedalaman 70km yang memberi petunjuk adanya bidang batas antara batuan yang berbeda sifatnya secara tidak berangsur.

Berikutnya, tidak lengkap rasanya bila tidak mencantumkan pendapat R.W. Van Bemmelen, seorang ahli yang banyak jasanya bagi Geologi, Geomorfologi, dan Geografi di Indonesia. Selanjutnya tulisan Bemmelen ini dikutip dalam bentuk terjemahan dengan menggunakan Bing Translator dengan beberapa penyesuaian. Menurut Bemmelen (1948:284): "Diskontinuitas Mohorovisik ditafsirkan sebagai transisi antara lapisan aliran menengah, nonkristalin dan tempurung bawah kristal, pemisahan ultra-basik.
Pada tingkat ini kecepatan gelombang seismik longitudinal tiba-tiba melompat dari sekitar 6,5-7 untuk sekitar 8 km/detik [selama konferensi di London pada tahun 1947 pada hasil pengamatan seismik gempa Bumi buatan, disebabkan oleh ledakan Helgoland pada bulan April tahun ini, kecepatan berikut untuk gelombang longitudinal diterima: lapisan Sedimental: 4,25 km/detik; Lapisan pegmatit: 5,26 km/detik; Lapisan dasar: 6.47 km/detik; Lapisan ultra-basik: 8.14 km/detik. Kecepatan gelombang longitudinal dalam tempurung pegmatit yang disebutkan di atas jauh lebih rendah daripada yang dinyatakan sebelumnya (Gutenberg, 5,58; Jeffreys, 5.57; Conrad, 5,60). Ledakan Haslach di Black Forest (April 1948) memberikan masing-masing 6,02, 6,55 dan 8,2 km/detik untuk lapisan atas, menengah, dan yang lebih rendah (Geol. Rdsch. 36, Desember 1948)]. Di mana secara bertahap kecepatan ini berlangsung meningkat, jelas ada perubahan dari kurang kaku dan batu dapat lebih padat di atas untuk lebih kaku dan batuan kurang padat di bawahnya. Jeffreys adalah pemimpin di antara mereka yang menganggap ultra-basik, merupakan karakter kristal untuk lapisan ketiga ini.

Batas bawah lapisan ultra-basik ini akan berkurang secara tiba-tiba dalam hal kegempaanya, karena secara bertahap kristal sima melewati ke bawah menjadi sublapisan batuan cair. Hal ini dapat dibayangkan bahwa interval waktu lama pemisahan-pemisahan ultra-basik di lapisan sima akan menjadi cair lagi oleh perpindahan panas membuat lebih panas pada sublapisan seperti kaca.

Hal ini bahkan dimungkinkan bahwa ion dan atom berdifusi dengan materi dari sublapisan ini ke dalam lapisan sima yang pada akhirnya menyebabkan regenerasi lengkap dari kulit sima ke salsimatik magma. Ini akan menjadi semacam "hypo-migmatization", sebanding dengan korosi kerak sialik oleh munculnya keluar dari tempurung induk salsima. Dasar dari tektonosfer merupakan zona gelombang dengan kecepatan relatif rendah adalah dikecualikan, seperti yang telah dibedakan oleh Gutenberg & Richter (1939) dan Gutenberg (1948), karena ada transisi secara bertahap yang berlangsung dari kristal menjadi sublapisan transparan seperti kaca".

Mudah-mudahan penanya semakin puas dengan penjelasan tambahan ini. Semoga posting ini juga bermanfaat bagi pembaca "nuansa masel" lainnya.

Sumber:
  • Marbun, M.A. 1982. Kamus Geografi. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia.
  • Setia Graha, Doddy. 1987. Batuan dan Mineral. Bandung: Nova.
  • Van Bemmelen, R.W. 1948. The Geology Of Indonesia Vo. 1A General Geology Of Indonesia and Adjacent Archipelogoes. Batavia
Situs translet:
  • Bing Translator


Tidak ada komentar:

Posting Komentar